Total Tayangan Halaman

Senin, 25 Oktober 2010

LEMBAGA PRIMA BEBER 9 KELEMAHAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN BUTON

PASARWAJO-SULTRA--Lembaga Prima membeberkan beberapa item kelemahan penyelenggaraan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Buton pada sebuah lokakarya bertajuk Wajah Pendidikan Dasar Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara di ex Kantor Bupati Buton, Sabtu (23/10). Kegiatan itu diikuti unsur Perguruan Tinggi, DPR, Dinas Pendidikan, Pemerintah Desa dan guru/kepala sekolah.
 
Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Rakyat Indonesia Madani (Prima), Jafar SE, menyampaikan hasil-hasil riset yang dilakukan LSM Prima dan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai situasi penyelenggaraan SD di Kabupaten Buton. Paling tidak terdapat lima prioritas kebijakan pendidikan, di antaranya rehabilitasi gedung sekolah, perbaikan sarana dan prasarana sekolah, pengadaan tenaga guru dan tenaga kependidikan, peningkatan mutu proses belajar-mengajar, dan pengembangan sistem pelayanan kepada warga.
"Rehabilitas gedung sekolah merupakan kebijakan prioritas paling tinggi," ungkap Jafar mengutip ucapan Kasub Dinas Pendidikan Prasekolah dan Pendidikan Dasar, La Ode Muslim. Diungkapkan distribusi guru tidak merata di seluruh kecamatan di Kabupaten Buton. Sebab guru terkonsentrasi pada kecamatan tertentu saja dan sangat sedikit di kecamatan lain. Kesenjangan ketersediaan SD dengan banyaknya peserta didik sangat menonjol. Di kecamatan Sampolawa dan Batu Atas menampung peserta didik jauh lebih besar kurang lebih 330 peserta didik. Berbeda dengan kecamatan lain yang tergolong kecil yakni 1:108.
Hasil temuan Lembaga Prima, setidaknya ada 9 masalah mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan dasar di Kabupaten Buton. Yakni masalah anggaran pendidikan hanya 8,23 persen tidak sesuai dengan UU No 20/2003 tentang Sisdiknas yang mengamanatkan agar pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan alokasi anggaran minimal 20 persen. Temuan lain, anggaran pendidikan tidak sepenuhnya digunakan untuk pelayanan langsung kepada warga. Tiga masalah besar terkait dengan guru, di antaranya jumlah dan distribusi guru yang tidak merata, kualifikasi, serta kesejahteraan yang minim.
"Biasanya guru non-PNS pada suatu desa lebih cenderung memilih sekolah yang kondisi bangunannya lebih baik. Akhirnya terjadi penumpukan pada suatu sekolah," tambahnya.
Selain itu, guru pada setiap sekolah dasar dominan hanya berijazah diploma. Bahkan ditemukan sekolah yang merekrut guru luluan SMA, kebijakan Dinas Pendidikan untuk meningkatkan kualitasi guru melalui pengembangan akademik belum menyentuh guru SD, mutu SD di Kabupaten Buton hanya bertumpu pada bangunan fisik. Temuan lainnya di antaranya masalah sarana dan prasarana sekolah yang tidak merata, buku teks pelajaran yang tidak merata, masyarakat tidak mengetahu fungsi Dewan Pendidikan, Komite Sekolah tidak berfungsi, minim partisipasi warga, dan masih ada pungutan uang fotokopi menjelang ujian(dandi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar