Total Tayangan Halaman

Sabtu, 30 Oktober 2010

INTERAKSI PERS DAN PEMERINTAH DAERAH

(OPINI)


Beberapa hari terakhir media massa lokal di Bangka Belitung memberitakan pernyataan Walikota Pangkalpinang yang terkesan melecehkan profesi wartawan. Akibatnya muncul berbagai statement dari berbagai pihak, baik dari wartawan sendiri, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), anggota DPRD, tokoh pemuda sampai dengan cybercommunity melalui Bangkapos Facebookers. Ada yang berkomentar pernyataan tersebut melecehkan profesi wartawan, ada yang menyayangkan dan ada pula yang berharap orang nomor satu di Pemerintahan Kota Pangkalpinang ini untuk meminta maaf. Terakhir, insan pers menggelar aksi damai didepan kantor Walikota terkait masalah ini.


Adanya permasalahan antara Pejabat publik dengan insan pers ini tidak hanya terjadi dipangkalpinang, tetapi juga dibeberapa daerah lain. Misalnya yang baru-baru ini terjadi, dimana wartawan di Banjarmasin merasa dilecehkan dengan pernyataan Walikota Banjarmasin H. Muhidin dalam apel pagi PNS Pemkot Banjarmasin, menyatakan bahwa wartawan itu banyak dosa. Akibat ulah Walikota ini, PWI Banjarmasin mensomasi Walikota dan melaporkan masalah ini ke PWI Pusat serta Dewan Pers di Jakarta. Kemudian Bupati Kerinci, Murasman juga melakukan hal yang tidak jauh berbeda. Murasman, dihadapan wisudawan STAIN Kerinci di Gedung Nasional Sungai Penuh, menyatakan Sarjana kalau tidak punya uang jangan jadi wartawan dan tukang ojek. Hal yang sama dan lebih parah juga terjadi di Pekanbaru, Riau. Seorang anggota DPRD Pekanbaru, Yose Saputra membuka celananya dan meminta wartawan untuk memotret (maaf) pantatnya.


Tidak hanya Kepala Daerah, Menkominfo Tifatul Sembiring pun pernah bermasalah dengan insan pers. Saat wartawan Media Indonesia meminta konfirmasi terkait RPM Kontent Multi Media, Menkonminfo justru mengirim pesan singkat yang isinya, "Wartawan sudah lihai menulis tanpa perlu meminta konfirmasi. Lihat aja pelintiran berita hari ini. Anda bebas kok menulis apa saja. Anda cari makan dari cara-cara seperti itu".


Beberapa contoh di atas hanya sebagian saja dari sekian banyak permasalahan yang melibatkan pers dengan pejabat publik dinegeri ini. Seharusnya di era reformasi dan demokrasi yang sedang kita bangun bersama, permasalahan seperti ini tidak terus terulang, seandainya kita mau belajar dari pengalaman dan semua pihak saling mengintropeksi diri, baik pejabat publik maupun wartawan, agar sinergisitas keduanya dapat membangun daerah dan bangsa ini dengan penuh peradaban.


Interaksi Positif


Salah satu ciri dari good governance atau tata pemerintah yang baik adalah mampu berinteraksi dengan semua elemen termasuk pers sebagai mitra kerja sekaligus alat kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah. Terlebih Sekarang Kepala daerah sudah dipilih langsung oleh rakyat, sehingga harus memiliki akuntabilitas, transparansi dan responsif yang sangat tinggi. Kepala daerah sebagai orang nomor satu di daerah tidak hanya sebagai figur yang cukup dikenal pada saat kampanye, tetapi juga selama lima tahun ia memimpin, bahkan setelah meninggalkan jabatannya. Semua perkataan, perilaku, sikap dan kebijakannya akan menjadi perhatian seluruh masyarakat. Mulai dari kalangan pers, kampus sampai dengan obrolan di warung kopi.


Dalam hubungan dengan pers, pejabat publik perlu memiliki kemampuan untuk merespon secara positif semua yang tulis oleh media tentang kebijakan yang dikeluarkannya, apakah itu berita baik ataupun buruk. Ketika beritanya bernada negatif, manajemen evaluatif harus digunakan. Artinya anggap berita tersebut sebagai bentuk kontrol sosial dan evaluasi serta untuk mengingatkan agar terus melakukan perbaikan. Ketika wartawan dinilai memelintir berita dan tidak paham memberitakan kebijakan pemerintah daerah, ada baiknya diperjelas mana yang dipelintir dan pejabat publik menjelaskan ketidakpahaman wartawan. Apabila ini dilakukan lebih awal, mudah-mudahan tidak ada lagi permasalahan dan pejabat publik semakin terbuka sedangkan wartawan semakin profesional.


Eduard Depari, seorang pakar komunikasi menyatakan "bagaimanapun interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat, dapat terwujud jika masing-masing menyadari perannya dan mau mengisi kekurangan yang dirasakan sebagai ganjalan dalam hubungan tersebut. Karena walaupun telah diusahakan, bagi pers tidak mudah untuk memuaskan semua pihak secara bersama-sama".


Pernyataan ini menunjukkan bahwa interaksi antara pers, pemerintah dan masyarakat dapat terwujud jika masing-masing pihak menjalankan perannya dengan baik. Wartawan harus menjalankan aktivitas jurnalistiknya secara profesional, bertanggungjawab dan mematuhi kode etik profesi. Sementara pemerintah daerah, mulai dari pejabat publik tertinggi sampai dengan bawahannya harus lebih besifat terbuka dan memberi informasi sejelas mungkin agar tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda oleh kalangan wartawan. Sementara masyarakat juga harus sudah cerdas untuk menangkap apa yang dibacanya dimedia. Apakah informasi yang ada berguna atau tidak untuk dirinya, lingkungan dan lebih jauh lagi bagi proses pembangunan daerah. Masyarakat juga harus aktif memberikan masukan, baik kepada pemerintah daerah maupun wartawan terkait pemberitaan media massa.


Tiga Jalur


Menurut Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Pasal 8 menyatakan bahwa wartawan dalam menjalankan profesinya mendapatkan perlindungan hukum. Kemudian dalam Pasal 4 ayat (3) disebutkan pula bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Hal ini bukan berarti wartawan kebal hukum. Wartawan juga harus profesional dan bertanggungjawab atas hasil karya jurnalistiknya ketika itu merugikan orang lain, termasuk pejabat publik. Ada tiga jalur yang dapat ditempuh jika pemberitaan pers dinilai merugikan, yaitu memberikan hak jawab, jalur hukum, atau melaporkan kepada Dewan Pers. Namun mengingat simbiosis mutualisme antara pers dan pemerintah, kiranya jalur pertama dan ketiga yang diprioritaskan untuk ditempuh dahulu, diiringi dengan perbaikan terus menerus oleh wartawan maupun pejabat publik. 


Oleh : Dwi Haryadi, S.H.,M.H.
Dosen FHIS UBB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar